Pelayanan Anak

|
Istilah “Pelayanan Sekolah Minggu” yang biasanya dipakai sebaiknya diganti dengan istilah “Pelayanan Anak”, karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.

1). Istilah day School” di luar negeri tidak hanya terbatas pada pelayanan anak, tetapi juga pelayanan jemaat dewasa.

2). Istilah Minggu” kurang sesuai dengan prinsip Alkitabiah tentang pendidikan anak. Anak-anak tidak hanya diajar pada hari Minggu oleh guru SM saja. Pendidikan anak terutama merupakan tanggung-jawab orang tua dan harus dilakukan secara intensif. Selain dididik dalam konteks jemaat (gereja, cf. Ul 31:10-13), anak-anak juga harus dididik dalam konteks keluarga (Ul 6:6-9), Lihat Perbedaan Pendidikan Anak di Alkitab dan Gereja Sekarang).


3). Istilah Sekolah Minggu” bisa menimbulkan kesan bahwa tugas seorang pendidik anak di gereja (guru SM, red.) hanyalah mengajar cerita Alkitab di kelas.

Alasan Mendidik Anak
1). Alasan teologis.

a.Perintah Tuhan (Ul 6:4; Mzm 78:5-6; Ef 6:4; 1Tim 3:1-4; Tit 1:6; Kol 3:2)
b.Teladan Yesus. Yesus memberi waktu bagi anak-anak (Mar 10:13-16). Yesus memberi ancaman serius kepada siapapun yang menyesatkan anak kecil (Mat 18:6-10).
  • Yesus sering menggunakan kehidupan anak kecil sebagai ilustrasi khotbah (Mar 9:36-37; Mat 11:16-17
  • Ini menunjukkan bahwa Ia dekat dan memperhatikan kehidupan anak kecil.
  • Anak-anak termasuk dalam “umat Allah”. Praktek sunat (PB) dan baptisan pada anak kecil (PB) mengindikasikan bahwa anak-anak termasuk dalam jemaat (umat) Allah. Dalam beberapa kasus, 
  • Anak-anak termasuk golongan yang berhak menerima janji/berkat Allah (cf. Kis 2:39; Mat 18:10).
d. Anak-anak adalah orang-orang yang berdosa.
Berbeda dengan teori Tabularasa John Locke maupun konsep ajaran lain yang menganggap anak kecil seperti kertas putih, Alkitab menegaskan bahwa setiap manusia yang lahir ke dalam dunia adalah orang berdosa (Mzm 51:7; Rom 5:12-19). Setiap anak pasti cenderung ke arah dosa, karena status dan natur mereka sebagai orang berdosa (total depravity).

2). Alasan psikologis
a. Usia anak merupakan usia ideal untuk pendidikan, karena anak-anak paling mudah menerima sesuatu.
  • Hal ini sedikit banyak terkait dengan daya analisa anak yang belum berkembang secara optimal, sehingga mereka biasanya mudah mempercayai sesuatu yang ia dengar atau lihat.
  • Selain itu, pikiran anak-anak relatif belum banyak terdistorsi oleh hal-hal lain yang bersifat negatif.
  • Stephen Tong menulis, “Kejernihan dan daya ingat otak mencapai titik optimal ketika seseorang berusia 12 tahun. Masa kanak-kanak, khususnya di bawah usia 12 tahun, adalah masa keemasan pembentukan kehidupan yang mungkin menjadi wadah di mana Roh Kudus mengalirkan berkat melalui orang ini kepada banyak jiwa. Atau mungkin juga menjadi wadah di mana setan memperalat orang ini untuk merusak satu masyarakat atau bangsa” (Arsitek Jiwa, 2-3).
b. Pembentukan pada masa anak-anak sangat menentukan kehidupan seseorang di masa depan (cf. Ams 22:6; 2Tim 1:5). Perkembangan psikologis seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil. St. Francis Xavier mengatakan, “Berikan kepadaku seorang anak sampai ia berusia 7 tahun, setelah itu engkau boleh mengambilnya kembali”.

3). Alasan praktis.
a. Pengaruh eksternal yang negatif dan semakin intensif.
  • Pengaruh media. Maraknya acara film anak-anak pada hari Minggu seringkali membuat anak malas mengikuti kebaktian anak.
b. Banyaknya film anak-anak yang mengajarkan filosofi hidup yang salah dapat mempengaruhi nilai hidup anak. Beberapa filosofi tersebut antara lain:
  • Pengidolaan hal-hal yang bersifat fisik, misalnya kekuatan, kekayaan dan kesempurnaan tubuh. Ini sangat berbeda dengan film anak-anak zaman dulu yang lebih mengedepankan moralitas dan karakter. Tendensi ini dapat mempengaruhi fokus hidup anak, sehingga mereka lebih mengejar hal-hal fisik daripada pembangunan karakter. Pengaruh lain yang mungkin timbul adalah munculnya inferioritas kompleks (rasa rendah diri) pada anak-anak yang menganggap diri mereka tidak memenuhi kualifikasi “ideal” secara fisik.
  • Maraknya ajaran etika yang tidak sesuai dengan Alkitab, misalnya balas dendam, etika situasi (berbohong untuk kebaikan), dll. Ini dapat memberikan kesan pada anak-anak bahwa hal-hal tersebut merupakan tindakan yang wajar/umum. Di sisi lain, hal tersebut juga memberi kesan bahwa ajaran Alkitab sudah terlalu kuno dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.
  • Pengaruh pergaulan di sekolah/masyarakat.Pengaruh ini perlu mendapat perhatian khusus, mengingat mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah/masyarakat daripada di kebaktian anak. Dalam konteks Indonesia, mereka pasti juga lebih banyak bersosialisasi dengan anak-anak lain yang non-Kristen, sehingga pergesekan dan pergeseran nilai pasti terjadi.
  • Pola permainan yang individualistis dan mengedepankan kemewahan. Pola permainan anak sekarang cenderung lebih individualistik dan menuntut uang yang cukup banyak untuk mendapatkannya, misalnya Play Station, komputer, dll. Hal ini dapat mempengaruhi anak, sehingga mereka cenderung egois, tidak mau berbagi dan sulit bekerja-sama dengan anak lain. Selain itu, pola ini juga memberi peluang lebih banyak bagi anak untuk bermain, karena tidak membutuhkan teman maupun tempat yang luas untuk bermain.
c. Kurangnya perhatian gereja terhadap pelayanan anak.
Observasi secara umum di Indonesia menunjukkan bahwa banyak gereja kurang menekankan pentingnya pelayanan anak. Hal ini dapat terlihat dari:
  • Minimnya alokasi dana untuk pelayanan anak.
  • Minimnya training dan persyaratan untuk menjadi guru SM anak (guru SM).
  • Minimnya perhatian gembala sidang/hamba Tuhan lain. Dalam 52 kali ibadah setiap tahun belum tentu ada satu khotbah yang khusus membahas tentang pentingnya mendidik anak dalam Tuhan dan pentingnya orang tua mendorong anak mereka ke kebaktian anak.
  • Minimnya ceramah khusus tentang cara mendidik anak. Jemaat biasanya hanya diajarkan bagaimana membina relasi vertikal dengan Tuhan atau relasi horizontal dengan orang lain, tetapi mereka biasanya jarang dibimbing bagaimana cara memarahi anak, memuji anak, menghukum anak, dll.
d). Kurangnya perhatian orang tua terhadap pelayanan anak.
  • Orang tua jarang mendorong (memaksa?) anak mereka pergi ke kebaktian anak, padahal mereka biasanya  marah jika anak mereka membolos sekolah. Tidak sedikit orang tua yang biasanya mau mengantar anak setiap hari ke sekolah justru enggan mengantar anak mereka ke kebaktian anak.
  • Orang tua jarang (tidak pernah?) memonitor apa yang anak mereka pelajari di kebaktian anak. Mereka juga jarang membantu anak-anak menyelesaikan tugas yang diberikan guru SM, misalnya menghafal ayat, dll.
  • Orang tua jarang (tidak pernah?) mengajarkan Alkitab pada anak-anak di rumah. Mereka menganggap bahwa tugas mendidik anak dalam kebenaran adalah tugas guru SM. Hal ini, selain tidak Alkitabiah, juga sangat disayangkan, karena orang tua memiliki waktu bertemu anak yang lebih intensif daripada guru SM. Orang tua jarang memiliki waktu yang cukup untuk anak-anak di rumah.

1). Dalam kasus kedua orang tua bekerja, pendidikan anak lebih banyak dilakukan oleh baby sitter atau pembantu, padahal hanya sedikit sekali dari mereka yang menguasai ajaran kekristenan dan mampu mengajarkan pada anak dengan benar.

2). Waktu kebersamaan orang tua dengan anak di rumah seringkali kurang berkualitas. Stamina dan pikiran orang tua terlalu lelah setelah seharian bekerja, sehingga mereka lebih suka mencari refreshing melalui nonton TV/VCD daripada mendiskusikan hal-hal yang serius dengan anak. Kegiatan menonton TV bersama anak ini tentu saja dapat memupuk kebersamaan, tetapi belum tentu berkualitas.

3). Anak-anak terlalu sibuk dengan kegiatan sekolah, ekstra kurikuler maupun les pribadi (pelajaran, seni maupun olah raga), sehingga kesempatan berkomunikasi dengan orang tua juga berkurang.
  • Orang tua tidak menjadi figure keteladanan, padahal anak belajar tentang Tuhan melalui analogi dalam kehidupan di keluarga (lihat Perkembangan Konsep Teologis Anak).
  • Hubungan orang tua yang tidak harmonis di rumah akan sangat mempengaruhi perkembangan psikologis dan teologis anak.
  • Banyak orang tua mencintai anak mereka, tetapi hanya sedikit yang tahu cara mendidik mereka dengan benar.
e). Persentasi terbesar populasi dunia adalah anak-anak. Di India terdapat 400 juta anak-anak (40% dari seluruh populasi dunia). Di Indonesia, 35% populasi merupakan anak-anak. Fakta ini memberikan peluang (karena targetnya besar) sekaligus tantangan (karena membutuhkan tenaga pendidik yang lebih banyak).

f). Pendidikan anak menentukan masa depan gereja dan negara.

  • Stephen Tong menulis, “Hari depan gereja tidak dapat ditentukan sekarang di dalam kebaktian orang dewasa, tetapi justru tergantung keadaan Sekolah Minggu...pendeta yang sibuk luar biasa akan menjadi imam, dan anda sebagai guru Sekolah Minggu sebenarnya sudah melampaui tugas itu, yaitu menjadi “Nabi”, karena anda yang “meramal”, melihat ke masa depan gereja” (Arsitek Jiwa, 10).
  • Menurut statistik suatu gereja yang berhasil menangani pelayanan anak, 75% dari semua pertobatan terjadi pada murid-murid Sekolah Minggu antara 12 sampai 20 tahun dan kebanyakan dari 25% lainnya adalah orang-orang yang pernah mengikuti Sekolah Minggu (Ralph M. Riggs, Sekolah Minggu yang Berhasil, 1-2).
  • Statistik menunjukkan bahwa 90% hamba Tuhan atau penginjil bertobat pada masa anak-anak, misalnya D. L. Moody, Matthew Henry, dll.
  • Dalam kaitan dengan masa depan negara/masyarakat, sejarah membuktikan bagaimana masing-masing bangsa menaruh perhatian pada kualitas anak-anak mereka. Hal ini pula yang menjadi perhatian pemerintah US dalam Konferensi Gedung Putih tahun 1970 tentang “national neglect of children ang those primarily engaged in their care – America’s parents”. Mereka menuliskan, “a trouble so deep and pervasive as to threaten the future of our nation” (Donald M. Joy, “Why Teach Children?” in Childhood Education in the Church, 9).
g). Ajaran lain sudah mempraktekkan hal yang sama.

Tujuan Pelayanan Anak
  1. Tujuan secara negatif.
  2. Bukan menggantikan peranan orang tua dalam mendidik anak. Pelayanan anak hanya sebagai komplemen yang harus ada, mengingat tantangan modern semakin kompleks dan membutuhkan penanganan anak secara khusus.
  3. Bukan sekedar meneruskan tradisi gereja yang sudah berusia puluhan tahun.
  4. Bukan sekedar  usaha agar orang tua tidak terganggu selama ibadah umum.
  5. Bukan sekedar pengisi waktu luang/liburan anak.
  6. Bukan sekedar tempat hiburan maupun ajang kreativitas anak.
  7. Tujuan secara positif.
  8. Membawa anak pada keselamatan jiwa mereka.
  9. Memperkenalkan prinsip-prinsip hidup Alkitab dan ajaran iman (doktrin) kepada anak-anak.
  10. Membimbing anak untuk terus bertumbuh di dalam Tuhan. Anak diharapkan mampu membina hubungan pribadi sendiri dengan Tuhan melalui doa, membaca Alkitab setiap hari dan mampu merenungkannya dengan cara yang sederhana serta melakukan dalam hidup sehari-hari.
  11. Mempersiapkan anak untuk mencintai dan terlibat dalam pekerjaan Tuhan


 

Copyright © 2010 Data-Data Kebenaran Blogger Template by Dzignine