Dalam Alkitab, kata-kata yang dipakai untuk hukum (torah dalam bahasa Ibrani, nomos dalam bahasa Yunani) mempunyai pengertian yang luas dan bermacam-macam perintah, peraturan, instruksi, dan lainnya. Dengan demikian, makna kata hukum hanya dapat ditentukan dengan melihat konteks pemakaiannya.
Apa yang Yesus Kristus maksudkan tatkala Ia berbicara mengenai hukum (Mat. 5:17-20) pada Khotbah di Bukit? Yesus Kristus memakai perbedaan umum antara hukum dan kitab nabi (ayat 17). Dia juga berbicara mengenai hukum dalam arti peraturan dan perintahnya (ayat 19). Di sini, Yesus Kristus secara khusus mengacu kepada ide tentang hukum sebagai peraturan khusus yang Tuhan berikan kepada umat-Nya untuk mengatur keseluruhan hidup mereka moral, agama, sosial, dan politik. Apa yang selanjutnya Ia katakan dalam Mat 5:21-48 menekankan bahwa ketika Dia berbicara mengenai peranan hukum, yaitu sebagai perintah-perintah yang Tuhan berikan kepada umat-Nya melalui Musa.
Ada tiga hal yang dinyatakan oleh hukum Taurat:
- Hukum Taurat mengekspresikan sifat Tuhan dan kehendak-Nya atas hidup manusia.
- Mengajar kita akan sifat manusia yang sejati. Maksud Tuhan agar manusia hidup selaras dengan hukum Tuhan
- Hukum Taurat mengajar kita akan sifat keselamatan.
Pemikiran Paulus Tentang Hukum Taurat
Pemikiran Paulus tentang Taurat sulit dipahami karena ia memberi pernyataan-pernyataan yang kontradiktif satu dengan yang lain. Ia mengemukakan bahwa mereka yang melakukan hukum Taurat akan dibenarkan (Rm. 2:13) dan akan beroleh hidup melalui Taurat (Rm. 10:5; Gal. 3:12); namun pada waktu yang sama ia juga menyatakan bahwa tak seorang pun yang dibenarkan oleh Taurat (Rm. 3:20), melainkan akan mengalami kematian oleh hukum Taurat yang tertulis itu (2 Kor. 3:6), karena Taurat itu tak dapat menghidupkan (Gal. 3:21). Paulus juga menyatakan bahwa dalam ketaatan kepada hukum Taurat ia tidak bercacat (Flp. 3:6), namun Ia juga menyatakan bahwa tak seorang pun yang dapat melakukan Taurat itu secara sempurna (Rm. 8:7).
Pemikiran Paulus tentang Taurat sulit dipahami karena ia memberi pernyataan-pernyataan yang kontradiktif satu dengan yang lain. Ia mengemukakan bahwa mereka yang melakukan hukum Taurat akan dibenarkan (Rm. 2:13) dan akan beroleh hidup melalui Taurat (Rm. 10:5; Gal. 3:12); namun pada waktu yang sama ia juga menyatakan bahwa tak seorang pun yang dibenarkan oleh Taurat (Rm. 3:20), melainkan akan mengalami kematian oleh hukum Taurat yang tertulis itu (2 Kor. 3:6), karena Taurat itu tak dapat menghidupkan (Gal. 3:21). Paulus juga menyatakan bahwa dalam ketaatan kepada hukum Taurat ia tidak bercacat (Flp. 3:6), namun Ia juga menyatakan bahwa tak seorang pun yang dapat melakukan Taurat itu secara sempurna (Rm. 8:7).
Untuk mengerti pandangan teologis Paulus secara tepat, maka sangat penting untuk memahami sikapnya terhadap Taurat, baik sebelum maupun sesudah pertobannya. Pengalamannya sendiri mempengaruhi cara pengungkapan keyakinannya. Paulus menggunakan kata nomos dalam pelbagai cara, maksudnya yang paling sering ialah Hukum Musa. Dalam pemakaian Yahudi, ’hukum’ terutama berarti kelima kitab taurat, kendati kemudian hari dipakai untuk seluruh kitab.
Dalam surat Galatia : janji Allah secara historis mendahului pemberian Taurat. Paulus menegaskan bahwa Taurat telah diperkenalkan 430 tahun sesudah janji itu disampaikan kepada Abraham (Gal 3:17). Ia melihat dengan jelas implikasi hal itu. Ia yakin sekali janji itu diberikan tidak ada yang dapat mengubahnya. Karena janji itu menuntut tanggapan iman, maka ia berpendapat bahwa taurat tidak dapat membatalkannya. Taurat tak dapat menuntut suatu pendekatan terhadap kebenaran yang lain daripada pendekatan yang dituntut oleh janji Allah kepada Abraham, yaitu melalui iman. Begitupun ini tidak berarti bahwa janji dan Taurat bertentangan satu sama lain (Gal 3:21). Paulus melihat di dalam taurat suatu ungkapan anugerah Allah. Memang Taurat itu sendiri didasarkan kepada janji. Jika Taurat dilaksanakan , keselamatan pasti terjamin: inilah janji Taurat. Tetapi Paulus mengetahui sepenuhnya bahwa tidak seorangpun yang pernah melaksanakan seluruh hukum Taurat, kecuali Yesus Kristus. Kelamahan utama Taurat adalah, ia hanya dapat memperlihatkan bahwa orang sudah melakukan pelanggaran, ia tidak dapat menghidupkan (Gal 3:21).
Fungsi Hukum Taurat
- Taurat membawa pengenalan akan dosa (Roma 3:20; 4:15; 7:7).
- Taurat merangsang dosa – Taurat ditambahkan supaya pelanggaran menjadi semakin banyak (Rm 5:20)
- Taurat itu bersifat rohani, yaitu untuk mencapai hasil-hasil rohani
- Taurat itu memberatkan (Gal 5:3; Gal 3:10)
- Taurat menjatuhkan kutuk (Gal 3:13)
- Melalui perbuatan-perbuatan melakukan Taurat orang tidak dapat memperoleh kebenaran
- Taurat adalah penuntun sampai Kristus datang (Gal 3:24)
- Taurat berakhir didalam Kristus (Rom 10:4)
- Hukum Taurat Tidak Menyelamatkan
Walaupun bagi Paulus Taurat tetap merupakan pengungkapan yang benar dan kudus tentang kehedak Allah, namun taurat itu telah gagal membuat manusia benar dihadapan Allah. Mustahil bagi manusia untuk dibenarkan dengan melakukan hukum Taurat (Gal 2:16).
Dalam pola pikir orang Yahudi, hukum Taurat nampaknya bisa menjadi solusi bagi permasalahan dosa yang dihadapinya. Akan tetapi, hukum Taurat sebenarnya sama sekali tidak menolong dan menyelamatkan manusia keluar dari kemelut dosa ini. Hukum Taurat tidak membuat manusia terhindar dari murka Allah atas dosa manusia. Alasan yang paling kuat untuk ini adalah karena hukum Taurat tidak diberikan kepada manusia supaya menyelamatkan manusia tersebut. Hukum Taurat diberikan pada manusia untuk menyatakan, memperlihatkan dan mengkarakteristikan dosa pada manusia.
Sebagaimana perkataan Paulus dalam Roma 2:17, terlihat bahwa jemaat-jemaat Yahudi di Roma masih bersandar pada hukum Taurat. Jemaat yang merupakan orang Yahudi ini bukan merupakan orang yang tidak beriman kepada Kristus ataupun hanya mengandalkan hukum Taurat. Melalui ucapan syukur Paulus dalam Rm 1:8 nampak bahwa jemaat Roma secara umum yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi tersebut adalah jemaat yang sungguh-sungguh beriman kepada Kristus. Namun dalam iman mereka kepada Kristus tersebut, jemaat Yahudi mengganggap bahwa hukum Taurat juga dibutuhkan untuk mencapai keselamatan tersebut. Hukum Taurat sebagai pemberian Allah yang nyata membuat mereka merasa berbeda dari bangsa-bangsa lain oleh karena bangsa Yahudi “tahu” kehendak Allah dari hukum Taurat yang mereka miliki tersebut. Oleh sebab itu orang Kristen Yahudi merasa bangga dengan pengetahuan yang mereka miliki melalui hukum Taurat yang secara langsung berhubungan juga dengan bangga terhadap hukum Taurat dan usaha mereka menegakkan hukum Taurat tersebut.
Dalam pola pikir orang Yahudi, hukum Taurat nampaknya bisa menjadi solusi bagi permasalahan dosa yang dihadapinya. Akan tetapi, hukum Taurat sebenarnya sama sekali tidak menolong dan menyelamatkan manusia keluar dari kemelut dosa ini. Hukum Taurat tidak membuat manusia terhindar dari murka Allah atas dosa manusia. Alasan yang paling kuat untuk ini adalah karena hukum Taurat tidak diberikan kepada manusia supaya menyelamatkan manusia tersebut. Hukum Taurat diberikan pada manusia untuk menyatakan, memperlihatkan dan mengkarakteristikan dosa pada manusia.
Sebagaimana perkataan Paulus dalam Roma 2:17, terlihat bahwa jemaat-jemaat Yahudi di Roma masih bersandar pada hukum Taurat. Jemaat yang merupakan orang Yahudi ini bukan merupakan orang yang tidak beriman kepada Kristus ataupun hanya mengandalkan hukum Taurat. Melalui ucapan syukur Paulus dalam Rm 1:8 nampak bahwa jemaat Roma secara umum yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi tersebut adalah jemaat yang sungguh-sungguh beriman kepada Kristus. Namun dalam iman mereka kepada Kristus tersebut, jemaat Yahudi mengganggap bahwa hukum Taurat juga dibutuhkan untuk mencapai keselamatan tersebut. Hukum Taurat sebagai pemberian Allah yang nyata membuat mereka merasa berbeda dari bangsa-bangsa lain oleh karena bangsa Yahudi “tahu” kehendak Allah dari hukum Taurat yang mereka miliki tersebut. Oleh sebab itu orang Kristen Yahudi merasa bangga dengan pengetahuan yang mereka miliki melalui hukum Taurat yang secara langsung berhubungan juga dengan bangga terhadap hukum Taurat dan usaha mereka menegakkan hukum Taurat tersebut.
Akan tetapi hukum Taurat tidak menyelamatkan. Hal ini yang berulangkali ditegaskan oleh Paulus dalam Roma 3:20. Hukum Taurat bahkan berakibat kepada bertambahnya pelanggaran (Roma 5:20). Hal ini disebabkan oleh karena fungsi hukum Taurat itu memang pada dasarnya bukan untuk menyelamatkan ataupun membenarkan manusia, melainkan untuk mendefinisikan dosa. Godet mengatakan bahwa orang Yahudi mengklaim hukum Taurat sebagai sarana pendidikan dan keselamatan dalam sejarah umat manusia. Untuk itu Paulus menunjukkan bahwa hukum Taurat hanya memainkan peranan sekunder. Hukum Taurat disebut memiliki peran sekunder karena hukum Taurat hanya merupakan tambahan (Rm 5:20).
Dalam Roma 5:20 Paulus mengutarakan tujuan penambahan hukum Taurat dalam kehidupan manusia dengan cara menggunakan pilihan kata, tempus dan modus yang mendukung pengkomunikasian pemikirannya. Dalam kalimat di ayat 20 ini Paulus menggunakan bentuksubjunctive aorist yang didahului oleh kata “I`na” (hina) bagi kata kerja “pleonash” (pleonase)yang berarti “bertambah”. Sesuai dengan aturan gramatikal Yunani, subjunctive yang didahului oleh “I`na” membentuk sebuah purpose clause (klausa yang menyatakan tujuan) Dengan demikian pelanggaran yang bertambah merupakan tujuan dari hadirnya hukum Taurat. Selain itu, melalui bentuk subjunctive aorist yang mengacu kepada kejadian di masa yang akan datang, ekspresi kemungkinan bertambahnya pelanggaran dinyatakan dengan tegas. Artinya, peristiwa masuk atau hadirnya hukum Taurat yang terjadi satu kali di masa lampau bertujuan untuk menambah pelanggaran di masa setelah hukum Taurat itu tiba.
Dalam realitanya, memang sesudah hukum Taurat diberikan, pelanggaran tidak menjadi berkurang, tapi makin bertambah karena hukum Taurat menyediakan kesempatan untuk pelanggaran atas berbagai perintah yang spesifik. Berkenaan dengan hal ini Charles Spurgeon mengatakan bahwa kesalahannya bukan terletak pada hukum Taurat, namun pada kejahatan hati manusia yang membuatnya berespons memberontak terhadap hukum yang diberikan. Ketidakmampuan manusia untuk melakukan hukum Taurat dengan cermat dan kecondongan hatinya untuk melanggar hukum yang diberikan menunjukkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mendapat pemulihan hubungan dari seteru Allah kepada sebuah perdamaian dengan Allah melalui hukum Taurat itu. Hukum Taurat tidak menyelamatkan melainkan hanya membuat manusia sadar akan dosanya.
Anugrah
Anugerah merupakan bagian penting dalam kekristenan dan juga merupakan keunikan dari kekristenan. Anugerah yang terdapat di dalam kekristenan memberikan pengharapan bagi orang percaya untuk bisa diselamatkan, diampuni dan dikuduskan hidupnya dengan mengingat tidak ada satu kebaikan pun dalam diri manusia yang menjadikan dirinya layak untuk diselamatkan dan memampukannya untuk menguduskan dirinya sendiri. Oleh karena itu anugerah sering kali disampaikan baik dalam bentuk khotbah, pengajaran, atau penginjilan untuk memperkenalkan Allah dan segala kebaikan-Nya dalam hidup manusia.
Di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, anugerah banyak disebut dan dibicarakan. Dalam Perjanjian Lama anugerah diperkenalkan dalam pengertian “perkenanan” (kasih karunia) atau “kebaikan “ dengan dua istilah Ibrani, yaitu hen (Kej. 6:8; Est. 2:17; Ams.12:2, dll.) dan hesed (Kel. 15:13; 33:12-13; Yun. 4:2; Ayb. 6:14; 10:12; 37:13; Ams. 11:17; 3:3; Yes. 57:1; Mzm. 36:11; 103:17; dll.) yang penggunaannya tersebar di berbagai kitab PL Sementara itu dalam Perjanjian Baru anugerah diperkenalkan dengan istilah charis.Charis muncul sebanyak 154 kali dalam PB, dan dari jumlah itu seratus di antaranya muncul dalam surat-surat Paulus dan dua puluh tiga di antaranya muncul dalam surat Roma.
1. Konsep Anugerah Menurut Paulus
Anugerah merupakan sebuah pokok pembahasan yang penting dalam surat-surat Paulus . Lebih lanjut, di sepanjang surat Roma misalnya, Paulus juga berulang-ulang menyebut dan mengajarkan tentang anugerah Allah, baik dalam hubungan dengan panggilan kerasulannya oleh Kristus (Roma 1:5) maupun dalam hubungan dengan keselamatan. Secara khusus kita akan melihat konsep anugerah Paulus yang terdapat dalam tulisannya kepada jemaat Roma.
Anugerah diungkapkan oleh Paulus dalam tulisan-tulisannya dengan menggunakan kata “carij” (kharis). Menurut arti katanya, kharis berarti “kemurahan,” “kebaikan hati Allah,” “rencana yang penuh kemurahan,” atau “pemberian gratis yang dimanifestasikan oleh Allah terhadap manusia yang dinyatakan dalam injil-Nya.” Dalam penggunaan kata kharis oleh Paulus, anugerah tidak hanya memiliki arti yang terkandung dalam kata Ibrani hen, melainkan gabungan dengan makna yang terkandung juga dalam kata Ibrani lainnya untuk anugerah yaituhesed.
Anugerah yang dibahas oleh Paulus dalam surat Roma ini tidak berdiri sendiri tanpa hubungan dengan karya-karya Allah yang lainnya. Sebaliknya, anugerah merupakan suatu kesatuan dari rentetan karya Allah dalam diri manusia yang akan dibahas pada bagian berikut ini.
2. Anugerah Merupakan Inisiatif Allah
Anugerah artinya suatu pemberian gratis dan lebih mengacu kepada tindakan kebaikan hati dari Allah kepada manusia yang tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun dalam diri manusia. Anugerah secara faktual merupakan tindakan penyelamatan hasil keputusan Allah sendiri di dalam Yesus Kristus. Paulus, baik melalui salam pembuka surat maupun dalam isi suratnya, memperlihatkan bahwa sumber anugerah itu datang dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus. Keselamatan yang diteruskan dengan panggilan kerasulannya datang dari Allah. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa inisiatif pemberian anugerah adalah bukan dari manusia melainkan sepenuhnya dari Allah.
3. Anugerah Merupakan Lawan dari Dosa
Anugerah dan dosa adalah dua kekuatan yang saling bertentangan. Anugerah tidak mendorong perbuatan dosa dengan lebih besar dan banyak lagi, demikian juga dosa yang bertambah-tambah bukan jalan mendapatkan anugerah yang lebih besar lagi. Jika Paulus dalam Roma 5:2-21 berkata “dosa bertambah banyak” yang dilanjutkan dengan frasa “kasih karunia menjadi berkelimpahan,” maksud Paulus adalah untuk menyatakan suatu kategori keadaan anugerah yang berlimpah-limpah yang melampaui kelimpahan dosa. Kalimat Paulus tidak dimaksudkan untuk membicarakan tentang penambahan dosa secara kualitas maupun kuantitas. Namun Paulus sedang menggambarkan kekuatan anugerah yang super, melebihi kekuatan dosa di mana anugerah menang mengatasi dosa.
4. Manusia dibenarkan melalui Iman
Beranjak dari fakta semua manusia berdosa dan hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan, Paulus menggarisbawahi sebuah kebenaran dalam surat Roma, yaitu bahwa manusia dibenarkan oleh Kristus. Hanya orang benar yang bisa berdiri kokoh dan berdamai di hadapan Allah. Oleh karena semua manusia telah berdosa, maka keselamatan bagi manusia berdosa yang adalah seteru Allah hanya bisa dimungkinkan terjadi oleh sebuah pembenaran, yaitu pemberian kebenaran yang dilakukan oleh Allah sendiri kepada manusia. Melalui pembenaran, maka Allah mengubah seluruh hubungan manusia dengan-Nya. Manusia tidak lagi menjadi seteru Allah. Dalam hal ini pembenaran adalah terhadap relasi manusia dengan Allah, dan bukan pembenaran terhadap perbuatan-perbuatan dosa manusia.
Pembenaran ini merupakan anugerah karena tidak diperoleh dengan usaha manusia tapi oleh anugerah atau pemberian cuma-cuma dari Allah bagi mereka yang beriman. Bagi orang Yahudi yang terbiasa dengan konsep keselamatan oleh karena melakukan hukum Taurat, hal ini mungkin agak sukar diterima. Agar mereka dapat memahami hal ini maka Paulus terlebih dahulu membuka mata orang Yahudi bahwa Abraham, bapa bangsa-bangsa itu pun mendapatkan kebenaran bukan karena melakukan hukum Taurat melainkan karena iman (Rm 4:13). Apa yang diungkapkan Paulus tentang pembenaran Abraham tersebut sesuai dengan isi Kej 15:6 “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, dan TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai suatu kebenaran.” Abraham beriman kepada janji Allah, dan imannya itu yang diperhitungkan sebagai kebenaran dan bukan perbuatannya. Hal ini berarti oleh iman Abraham dibenarkan Tuhan. Anthony A. Hoekema melihat bahwa iman Abraham terhadap janji Allah mengenai keturunannya mencakup iman terhadap janji mengenai lahirnya Dia yang oleh-Nya semua bangsa di dunia akan diberkati. Pembenaran oleh iman ini berlaku juga bagi keturunan Abraham.
Paulus menggunakan paralelisme Adam dan Kristus untuk menggambarkan bagaimana manusia dibenarkan oleh iman (Roma 5:12, 15). Adam dan Kristus memiliki kemiripan dalam satu hal, dimana satu orang berdampak kepada banyak orang. Everett F. Harrison menyebut hal ini sebagai kebenaran yang masuk ke dalam dunia oleh satu orang sebagaimana dosa yang masuk ke dalam dunia oleh satu orang. Sementara itu Hoekema menjelaskan bahwa apa yang ditulis Paulus dalam Roma 5:12, 15 merupakan pengembangan pemikiran bahwa kebenaran Kristus diimputasikan kepada manusia di dalam pembenaran. Kebenaran Kristus itu adalah bahwa Ia telah dengan sempurna menaati hukum Taurat yang tidak bisa ditaati manusia, dan bahwa Ia telah menanggung murka yang selayaknya ditimpakan kepada manusia atas dosa-dosa manusia itu sendiri.
Kebenaran tersebut hanya bisa diterima dengan iman. Kebenaran diberikan kepada mereka yang percaya pada janji penebusan Allah di dalam Kristus yang sudah dilakukannya di kayu salib. Sebagaimana Abraham percaya oleh janji Allah dan imannya itu diperhitungkan sebagai kebenaran, demikian juga bagi kita yang percaya pada janji Allah oleh Yesus Kristus, iman kita akan diperhitungkan sebagai kebenaran. Kebenaran yang diterima tanpa usaha manusia ini merupakan anugerah atau kasih karunia.
5. Anugerah Berlanjut kepada Pengudusan
Anugerah tidak berhenti pada pembenaran oleh iman, namun berlanjut kepada pengudusan orang percaya yang menerima anugerah. Pengudusan ini bukan merupakan pengudusan terhadap status dan relasi manusia secara rohani di hadapan Allah, akan tetapi mengacu kepada tindakan luar manusia di hadapan tuntutan kebenaran dan standar kekudusan Allah sendiri. Jika pada tahap penganugerahan pembenaran peran manusia tidak dilibatkan di dalamnya, maka pada tahap ini manusia terlibat untuk bertanggung jawab atas hidupnya sesuai dengan statusnya yang baru dengan kekuatan dari Roh Kudus yang diberikan kepadanya.
Setelah manusia dibenarkan Allah, ia tidak lagi memilih hidup di bawah dosa. Hidupnya telah mati terhadap dosa, saat itu adalah akhir dari kehidupan yang lama yang ada di bawah pemerintahan dosa. Paulus menegaskan bahwa pembenaran itu membawa manusia kepada pembaharuan hidup yang di dalamnya mengandung makna pertumbuhan pada diri manusia baru tersebut. Dalam hidup yang baru, manusia lama telah disalibkan bersama Kristus dan bersamaan dengan itu kuasa dosa hilang. Namun hilangnya kuasa dosa terhadap diri orang yang mengalami anugerah bukan berarti dosa yang dilenyapkan sama sekali. Dosa tetap ada dan mungkin dilakukan oleh manusia, bedanya adalah jika dalam manusia lama natur yang dimiliki oleh orang tersebut adalah natur berdosa dan selalu dikontrol oleh dosa sehingga perbuatan dan pikirannya selalu kepada dosa, maka dalam diri manusia yang baru ia menyerahkan diri pada Allah untuk dikontrol oleh-Nya. Manusia yang baru menyandarkan pengetahuan dan keputusannya kepada Tuhan. Sesuai dengan naturnya yang baru, maka keputusan-keputusan, tindakan, pemikiran, dan kehendak manusia baru disandarkan pada pimpinan Tuhan. Manusia baru berusaha bertanggung jawab atas hidupnya dalam pimpinan Roh Kudus dengan kehendak untuk mengambil keputusan dan pilihan yang benar sesuai dengan statusnya yang baru di hadapan Allah.
Di dalam kehidupan yang sudah diperbaharui seseorang tidak mungkin untuk berada di bawah kuasa dosa dan berada di bawah kuasa kebenaran secara berganian dan bergiliran terus-menerus. Selain itu juga tidak ada jalan tengah di antara keduanya. Kejatuhan manusia dalam dosa dalam hidup baru bukan sesuatu yang disengaja dan dilakukan berulang-ulang. Dengan menyebutkan bahwa manusia baru sudah dibaptiskan (bersatu) dengan Kristus, dalam konsep yang diajarkan Paulus jelas bahwa orang yang sudah menerima anugerah memiliki kehendak sesuai dengan Kristus. Kondisi ini yang tidak memungkinkan manusia baru dengan sengaja menghendaki untuk melakukan dosa.
Manusia baru bisa sesekali gagal dalam pergumulannya antara menuruti keinginan dosa dan melakukan kehendak Allah sehingga ia gagal pula dalam tanggung jawab pribadinya untuk mengambil keputusan yang benar. Hal ini sangat mungkin terjadi di dalam proses pengudusan, namun orang yang hidup dalam anugerah akan kembali kepada kehendak Allah dalam suatu penyesalan akan dosa-dosanya dan tidak berkehendak untuk melakukan mengulangi apalagi menambah dosanya.
Ketika hidup manusia berakhir di dunia (mengalami kematian fisik) maka proses pengudusan pun berakhir. Pada akhir dari proses pengudusan tersebut manusia baru menerima pemberian hidup yang sudah dimulai sejak ia dibenarkan oleh Allah. Hidup kekal maupun pembenaran oleh iman adalah bentuk pemberian anugerah oleh Allah kepada manusia secara gratis.
Kepustakaan
1. Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma. Jakarta: Gunung Mulia, 1999.
2. Carlson, G. Raymon. Surat Roma. Malang: Gandum Mas, 1962.
3. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999
4. Hagelberg, Dave. Tafsiran Roma (dari bahasa Yunani), Bandung, Kalam Hidup
5. Hoekema, Anthony A. Diselamatkan oleh Anugerah. Surabaya: Momentum, 2001.
6. Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru 2, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002
7. Van den End, Th. Dr. Tafsiran Surat Roma, Jakarta, BPK Gunung Mulia
8. Lukito, Daniel Lucas “Kekeliruan Pengartian Konsep Anugerah dalam Teologi dan Pelayanan Praktis,” Veritas 3/2 (Oktober 2002): 149-170.
9. “Grace and The Helmet of Salvation.” http://www.stopsinning.net/excuses.html.
10. “What Grace is Not.” http://www.edwardfudge.com/written/grace03.htm