Anthropologi merupakan ilmu yang secara khusus mencoba menjawab beberapa pertanyaan penting seputar manusia disebut dengan istilah anthropologi (anqrwpou logos). Kata ini berasal dari kata Yunani anqrwpos yang berarti “manusia” dan logos yang berarti “ilmu” atau “ajaran”. Dari arti kata ini terlihat bahwa istilah “anthropologi” memiliki makna yang luas. Ajaran apapun tentang manusia – baik yang benar maupun salah - dapat disebut sebagai anthropologi.
Secara umum anthropologi dapat dibagi menjadi dua: anthropologi teologis (melihat manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk Allah) dan sekuler (melihat manusia pada dirinya sendiri dan sebagai hasil proses alamiah). Mereka yang memegang anthropologi teologis menganggap bahwa melihat manusia dalam kapasitasnya sebagai ciptaan Allah merupakan paradigma yang wajib ada. Tanpa kesadaran terhadap hal ini maka sebuah anthropologi teologis tidak akan diperlukan. Collingwood, sebagaimana dikutip Robert Duncan Culver (Systematic Theology, 229), mengatakan:
Jika seorang manusia adalah sekedar sebuah kantung air dengan “berbagai bahan kimiawi yang saling berinteraksi satu dengan yang lain di dalamnya” yang menarik, sebagaimana [diajarkan] dalam filosofi materialistik dewasa ini, maka sebuah buku tentang fisika dan kimia dapat menjelaskan dia secara memadai, walaupun tidak ada keberadaan seperti itu – dalam penilaian saya – dapat menulis maupun membaca buku seperti itu. Jika dia adalah “bagian yang fantastis dari hasil karya manusia di dalam tulang, otot dan syaraf – sebuah poin yang tinggi dalam evolusi kerajaan binatang”, sebuah pendekatan biologis mungkin cukup memadai. Jika dia hanyalah “seorang pemuas nafsu yang sibuk” yang mencari kesenangan sampai dia lelah dan lesu menutupi kekecewaannya dalam malam kematian, maka sesuatu di bidang psikologi mungkin membantu menjelaskan apa manusia itu. Jika menurut versi Gnostik dan [Gerakan] Jaman Baru manusia adalah bagian dari pikiran ilahi yang salah letak, yang sementara ini dikeluarkan dan rindu untuk kembali ke perubahan kosmik yang terus-menerus, maka sedikit metafisik sudah cukup.
Keberagaman anthropologi tidak hanya ditemukan dalam tingkatan makro (teologis dan sekuler), tetapi dalam lingkungan kekristenan sendiri masih terdapat berbagai perbedaan. Beberapa perbedaan tidak terlalu mendasar, namun beberapa yang lain sangat esensial. Apa saja perbedaan yang ada dalam anthropologi Kristiani?
Penilaian terhadap natur manusia.
Para teolog dari segala kalangan memiliki pandangan yang relatif seragam tentang keagungan manusia sebelum kejatuhan ke dalam dosa. Perbedaan baru muncul ketika mereka mendiskusikan keadaan manusia pasca kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa. Sebagian menganggap bahwa manusia masih memiliki kemampuan untuk memilih Allah maupun melakukan kebaikan, sedangkan yang lain menganggap manusia tidak bisa tidak berbuat dosa. Contoh klasik tentang perseteruan ini bisa dilihat dari sejarah gereja selama perdebatan antara Pelagius dan Agustinus atau, dalam bentuk yang lebih modern, antara Armenianisme dan Calvinisme.
Penempatan topik penciptaan.
Buku-buku teologi Reformed umumnya mengikuti pengaturan tujuh loci masing-masing: prolegomena/bibliologi, doktrin Allah, anthropologi (hamartologi sebagai pembahasan minor), Kristologi, soteriologi, ekklesiologi, eskhatologi. Pengaturan seperti ini bukanlah tugas yang mudah, karena ada beberapa topik yang berhubungan dengan lebih dari satu locus. Salah satunya adalah penciptaan (creation). Sebagian teolog membahasnya dalam kaitan dengan doktrin Allah (termasuk bagian dari karya Allah), sedangkan yang lain membahasnya sebagai pendahuluan anthropologi (Bavinck, Herman Hoeksema, Morton Smith).
Sifat tulisan.
Setiap penulis buku memiliki agenda sendiri yang khusus. Sebagian hanya ingin memberikan pemahaman yang benar tentang suatu doktrin (dogmatis), sedangkan yang lain merasa perlu untuk menentang pandangan lain yang tidak sejalan dengan mereka (apologetis). Para bapa gereja abad permulaan adalah contoh penulis yang bukan hanya memaparkan apa yang benar, tetapi juga menguak apa yang tidak benar, misalnya konsep Platonis tentang manusia.
Kecenderungan pendekatan.
Beberapa teolog memulai dengan pendekatan filosofis-teologis, walaupun konsep yang ditawarkan tetap biblikal. Sebagian yang lain langsung mendekati topik-topik yang ada melalui pendekatan eksegetis yang mendalam dan mendetil.
Cakupan topik.
Tidak semua teolog memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang harus dibahas dalam anthropologi biblikal. Sebagian hanya membatasi pada apa yang dikatakan Alkitab tentang tujuan penciptaan manusia, natur manusia sebelum dan sesudah kejatuhan dalam dosa, tanggung-jawab manusia kepada Tuhan dan sesama, dsb. Sebagian yang lain merasa perlu untuk mengupas kaitan anthropologi dengan isu-isu kontemporer sekarang, misalnya gender, tanggung-jawab secara ekologis, sosial, dsb.